POTRET PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH
Dr. Andi Bachtiar S.Sos, M.Si, M.Pd
(Direktur Pascasarjana UPRI Makassar)
Esensi Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah penghubung antara negara dan warganya. Jika pelayanan public dihadirkan dengan baik, maka relasi antara negara dan warganya akan menjadi kian baik dan akrab, sebaliknya jika pelayanan yang disuguhkan tidak mengenakkan hati dan tidak memenuhi kebutuhan, maka pecahlah kongsi antara negara dan warganya. Menurunnya tingkat kepercayaan, partisipasi masyarakat yang lebah hingga berdampak pada rasa patriotism dan nasionalisme warga terhadap negaranya. Untuk itu, tujuan pelayanan publik adalah memuaskan masyarakat atau warganya (Sinambela, dkk 2011: 6). Kepuasan diwujudkan dari dua hal pokok: keterpenuhan dan kualitas.
Keterpenuhan, berkenaan dengan ‘kecukupan’ dan ‘kesesuaian’. Kecukupan berhubungan dengan keterpenuhan barang dan jasa dari batas ambang kebutuhan setiap orang atau kelompok. Sementara kesesuaian berhubungan dengan kesesuaian spesifikasi barang barang dan jasa dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh setiap orang. Keterpenuhan menjadi hal yang mendasar karena berhubungan dengan kebutuhan pokok dan keberlanjutan hidup atau aktivitas warga negara. Jika aspek keterpenuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, maka konsekuensinya cukup vatal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pelayanan public yang pokok adalah mewujudkan aspek keterpenuhan kebutuhan public dari kebutuhan-kebutuhan mendasar (asasi), seperti kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan dasar.
Kualitas,berkenaan dengan proses pemberian pelayanan atau cara menyajikan barang dan jasa. Kepuasan di dapat tidak hanya karena enaknya menu, tetapi senangnya hati karena disajikan dengan baik dan menyenangkan. Aspek ini sangat penting dan menjadi salah satu prinsip reformasi birokrasi “Customer-Driven Government: meeting the needs of the custome, not the bureaucracy”. Suatu misi pemerintah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan warganya, bukan kebutuhan birokrasinya (Osborne dan Gaebler, 1992).
Jika layanan public telah menehui unsur keterpenuhan yang berkualitas, terjangkau dan responsif maka dengan sendirinya akan menumbuhkan kepercayaan dan dukungan yang baik dari warga negara terhadap pemerintah. Demikian juga sebaliknya.
Birokrasi dan Pelayanan Publik di Indonesia
Birokrasi pemerintah merupakan wakil sekaligus instrumen negara untuk melayani warganya. Kinerja birokrasi pemerintah yang efektif akan merupakan representasi dari negara yang efektif. Untuk itu, kinerja birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik terus didorong untuk melakukan perbaikan dan pembenahan. Upaya ini di Indonesia dilakukan seiring dengan terbitnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang ini menghadirkan sejumlah sangat baru dalam pelayanan publik, diantaranya adalah put people first. Hal ini merupakan konsekuensi dari suatu pemerintahan yang demokratis yang menganut prinsip “government of the people, from the people and by the people”. Dengan paradigm ini, maka birokrasi pemerintah tidak boleh lagi bekerja dan merasa senang sendiri dengan standarnya sendiri. Prinsip ‘partisipasi’ menjadi salah satu senyawa baru yang diharapkan agar pelayanan public yang disajikan oleh birokrasi pemerintah, cita rasanya sesuai dengan kebutuhan dan selera public. Bukan cita rasa dan selera birokrasi.
Partisipasi public dalam pelayanan public salah satunya tergambar dari pelibatan public dalam penyusunan standar pelayanan publik, baik dalam penyusunan syarat, prosedur, waktu, biaya dan lainnya ditetapkan berdasarkan masukan, tanggapan dan kesepakatan bersama birokrasi pemerintah dengan warganya, menjadi “citizen charter”. Pada posisi ini, pada public atau warga tidak lagi sebagai objek pelayanan semata, tetapi juga merupakan subjek dalam pelayanan public.
Potret Pelayanan Publik di daerah
Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup baik dalam pelayanan public, namun kuantitatasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan birokrasi pemrintah, utamanya di pemerintah daerah yang masih cukup signifikan rendahnya kualitas pelayanan. Pada tahun 2017, Ombudsman RI melaporkan terjadinya Dugaan Maladministrasi pada setiap kelompok Instansi selama periode Triwulan IV tahun 2017, memposisikan Pemerintah Daerah pada Persentasi tertinggi (36,6%) di atas Kepolisian (13,3%) serta pemerintah/kementrian (13,1%). Dugaan Maladministrasi yang dilakukan oleh pemerintah Daerah ini yang tertinggi adalah berkenaan penyimpangan prosedru (27,5%), penundaan berlarut (23,3%), tidak memberi pelayanan (16,7%), tidak kompeten (6,8%), penyalahgunaan wewenang (6,6%), tidak patut (6,5%), permintaan imbalan (4,4%), diskriminasi (2%), hingga berpihak (0.8%) dan konflik kepetingan (0.8%) (Ombudsman, 2017).
Persentase tersebut adalah sejumlah potret dalam masalah pelayanan public yang masih menggerogoti birokrasi pemerintah, khususnya lagi birokrasi pemerintah daerah. Bahkan, Survey Ombusman RI (2017) tentang kepatuhan seluruh lembaga pemerintah dari kementrian/lembaga hingga pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pelayanan publik oleh pemerintah kabupaten masih memprihatinkan. Pada tingkat pemerintah kabupaten, hanya terdapat 12,14% yang masuk dalam zona hijau atau kepatuhan tinggi, sedangkan 42,99% yang masuk dalam zona kuning atau kepatuhan, sedangkan 44,86% atau 48 kabupaten lainnya masuk di zona merah atau zona merah.
Dengan potret tersebut maka pelayanan public kita masih berada pada sebuah ‘bingkai buram’, yang harus ditata dan diseriusi penanganannya karena menjadi hak dari setiap warga negara.
Reformasi Birokrasi dan Kepatuhan Pelayanan Publik
Potret buram pelayanan public kita tak lepas dari reformasi birokrasi yang banyak tidak berjalan di lingkungan pemerintah daerah. Betapa banyak kepala dareah setelah terpilih, lebih tergiur memewahkan aspek-aspek fisik seperti jalan, gedung, jembatan, tugu dan lainnya. Mungkin karena secara matematis, program seperti ini lebih cepat terlihat hasilnya, selain itu secara kasat mata dapat diklaim sebagai sebuah pretasi serta menjadi bukti keberhasilannya.
Lain halnya dengan reformasi birokrasi, sebagian besar bergerak pada tataran non fisik, dampaknya juga tidak serta merta terlihat, apalagi dengan komplesitas birokrasi pemerintah daerah dengan culture-set dan mindset yang senang dengan kemapangan (status quo). Tak mudah bagi seorang pemimpin untuk merubah dengan serta merta. Butuh daya, waktu dan kendali yang kontinyu serta konsisten. Kondisi inilah yang (barang kali) dapat menjadi alibi banyaknya kepala daerah kurang konsen terhadap reformasi birokrasi.
Padahal reformasi birokrasi merupakan langkah strategis untuk membangun kultur dan sistem dalam pelayanan public yang responsive, berkualitas dan adil. Dari sejumlah arena perubahan dalam reformasi birokrasi, tiga yang paling pokok adalah pada tatanan kelembagaan, manajemen dan sdm. Penataan dan penguatan kembali dari aspek kelembagaan, manajemen dan sdm, kita harapkan pelayanan public di Indonesia, khususnya lagi di Daerah selain memenuhi aspek keterpenuhan, juga memenuhi aspek kualitas. Semoga!