DEMOKRASI DIPERSIMPANGAN JALAN
Oleh. Dr.
Andi Bachtiar, S.Sos, M.Si, M.Pd
( Direktur Pascasarjana UPRI Makassar
)
Demokrasi: Yang
Banyak Yang Menang
Apabila kita bertanya tentang momentum perubahan untuk
bangsa saat ini? Maka tahun inilah saatnya! Sebuah perubahan selalu saja
terjadi, tetapi perubahan besar selalu memiliki momentumnya sendiri, dan tak
selalu ada setiap saat. Butuh waktu yang panjang dan saat yang tepat untuk
memperolehnya kembali. Momentum itu adalah saat dimana sebuah ruang sejarah
kembali dibuka, dan kita diberikan keleluasaan untuk untuk menorehkan sajarah
baru dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan kita. Amat jauh berbeda memang,
jika dahulu momentum itu harus diperjuangkan dengan mengangkat senjata atau
pergerakan massif mahasiswa untuk meruntuhkan kedigdayaaan kekuasaan yang
mengurita. Maka saat ini momentum itu diatur, ruang pembaharuan bangsa selalu
ada setiap lima tahun sekali. Momentum tersebut adalah suatu agenda politik
yang mendesain kembali skema para penggerak pembangunan dalam satu episode
kedepan.
Dalam pentas ini, Demokrasi telah menjadi bagian dari
system perpolitikan kita dengan membawa nafas: Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu,
pemilu direpresentasikan sebagai pesta rakyat untuk menentukan nasib Bangsa dan
Negara serta nasibnya sendiri. Pemimpin Negara hingga Anggota legislatif yang
dipilih merupakan representasi dari keinginan rakyat. Namun, standard dari
prosesi demokrasi kita sederhana saja,
yaitu: ‘Yang Banyak, Yang Menang’.
Standar ini membuat banyak yang bergegas mencuri perhatian ‘yang banyak’.
Berbagai sarana dimanfaatkan untuk mengekspose diri biar populis dan terterima.
Konsekuensinya lumayan! butuh dana yang besar untuk memobilisasi banyak hal. Menjadi
populis, dibutuhkan promosi dan
sosialisasi massif lewat berbagai media dan sarana promosi (TV, Radio, Koran,
Boliho, Pamplet, dll). Ingin terterima a,
maka harus ada tindakan berkesan dihati pemilih lewat aktivitas-aktivitas sosial
(Menghadiri pernikahan, ta’jiah, bagi-bagi sembako, uang, kous, dll). Sekali
lagi, keduanya membutuhkan beck-up modal yang relatif besar. Kondisi ini
membuat pepatah: ‘Ada uang abang sayang,
tak ada uang abang ditendang’ kian mentereng dan relevan
Kondisi ini membuat ‘yang
banyak’ berada pada posisi yang istimewa. Karena merekalah yang menentukan
menang (win) atau kalahnya (lose) seseoang dalam percaturan politik
bangsa. Merekalah yang menentukan, tongkat ekstafet kebangsaan harus diserahi. Mareka
memiliki peran besar untuk memutuskan nasib bangsa lima tahun mendatang dalam
iktiar politik kita. Jika Anda menggapai kepercayaan ‘yang banyak’ itu, maka Andalah
‘pemenangnya’. Perjuangan dan pengorbanan dalam meraih kepercayaan ‘yang
banyak’ tersebut dihibur oleh logika: “Demokrasi
itu memang mahal”.
Apakah memang harus
demikian? Lalu gimana hasil (output) dan dampaknya (effect) dari prosesi ini
atas akselerasi pambangunan umat dan kebangsaan kita?
Demokrasi: Yang
Banyak Versus yang Benar (Terbaik)
Dalam demokrasi yang kita anut saat ini, ‘one man one vote’ adalah metode utama dalam menetapkan siapa-siapa pemimpin kita di eksekutif dan
wakil-wakil kita di legilatif, baik dalam lingkup nasional maupun lokal
(daerah). Kalkulasi dari pilihan masing-masing orang tersebut, kemudian akan
menjadi standard dalam memutuskan pemenang dan yang diserahi kepercayaan. Standarnya
sederhana: ‘Yang Banyak-Yang Menang’. Lalu, jika kita mencermati prosesi yang
sudah kita lakukan adalah beberapa etape sebelumnya, pantaslah kita bertanya
kembali: Apakah yang banyak sudah tentu
yang benar (terbaik)?
Pertanyaan di atas pantas untuk kita tilik kembali, biar
ruang sejarah yang kembali dibuka di negeri ini, tidak sia-sia dan terendus
percuma tanpa ada perbaikan berarti disetiap tambahan umur negeri ini yang
seharusnya sudah mulai dewasa menata kehdupan masyarakat dan pembangunan bangsanya.
Saya teringat dengan peringatan Allah dalam Al Qur’an:
“Jika kamu mengikuti
‘kebanyakan’ orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Qs. Al An’am).
Sikap orang banyak memang selalu mengikuti opini umum. Opini
yang jarang diseleksi dan diteliti kebenarannya. Opini yang liar dibawa kesana
kemari oleh mereka yang menguasai sarana informasi dan komunikasi massa serta
yang memiliki dukungan financial yang wah untuk promosi dan sosialisasi diri.
Sikap yang dipengaruhi oleh opini umum ini membuat banyak diantara kita yang rabun
dengan kebenaran dan detail kongkrit (bukan komestik) dari figur-figur dengan gambar close-upnya yang terpajang di Baliho-Baliho bersama serangkaian kata-kata
menyakinkan itu. Kita jauh dari detail kompetensi, integritas, karya serta
kontribusi sosial mereka selama ini, melainkan ‘sedikit saja’. Sehingga, tak jarang, ‘yang sedikit’ itulah standard kita untuk membuat pilihan. Pilihan
yang berdasar pada persangkaan dan selera (like
or dis like) belaka.
Belum lagi, mencermati nasib bangsa yang sebagian besar
penduduknya jauh dari sentuhan informasi dan pendidikan politik. Mereka yang
setiap hari hanya berpikir tentang sepiring
nasi buat keluarga dan masa depan keluarganya, dan lebih menyenangkan
melototi drama kolosal atau sinetron penuh emosi di malam harinya. Dan ketika
pemilu datang, menunggu jatah kebagian kous partai dan figur, bersukaria
mendatangi acara kompanye dengan kemudahan di mediasi. Dan ketika saatnya tiba,
mereka lupa untuk beristikhorah, lupa untuk berdoa, dan kemudian memberikan
pilihannya kepada yang dekat dengannya, yang paling sering dilihatnya, atau
yang pernah memberi sesuatu buatnya. Pilihan yang sangat insidentil. Sebuah
pilihan yang tak jarang ‘hanya pada persangkaan’ dan selera saja.
Olehnya, tak salah jika kita berani mengatakan bahwa ‘yang banyak belum tentu yang benar
(berkualitas)!. Hal ini membuat kita mawas diri untuk menilik dan mempertimbangan
kembali pilihan-pilihan kita selama ini dalam mengsikapi tahun politik nanti. Saya
dan kita semua hanya bisa berharap, semoga ‘yang benar’ (berkualitas) akan
menjadi menjadi yang menang. Dan semoga, mereka adalah yang terbanyak.
Ikhtiar! Memilih Yang Benar (Berkualitas)
Bagi saya, pemilu hanyalah sebuah ‘Ikhtiar’, yang tidak
menjadi jaminan hasilnya selalu baik. Namun sebuah ikhtiar harus dilakukan
dengan sebaik mungkin. Karena Ikhtiar yang baik memberikan ruang yang besar
untuk hasil yang baik pula, dan ikhtiar yang seadanya, sangat mungkin hasilnya
pun demikian. Pemilu 2024
adalah ‘Ikhtiar keuamatan’ untuk kehidupan umat yang lebih baik. Jika setiap
kita yang diberikan kewenangan untuk berikhtiar melalui one men one vote nantinya tidak bersungguh-sungguh, maka kita akan
kembali urung dan mengendus percepatan perubahan dan perbaikan kehidupan umat yang
lebih baik dalam satu babak kepemimpinan kedepan. Dan kita harus menunggu
momentum dan ruang sejarah ini kembali ada.
Oleh karena itu, sekalipun suara kita hanya satu, minimal
kita benar-benar tahu dan yakin bahwa, pilihan kita adalah yang benar. Yaitu pilihan
bagi para pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang berkualitas baik dari sisi
kapasitas, integritas, karya dan sosialitas dirinya. Tak mudah memang, tapi
inilah konsekuensi dari sistem demokrasi yang kita pilih. Kita harus
benar-benar tahu dan mengenal sisi-sisi pengetahuan, keterampilan, kepriabdian
dan kontribusi sosial para kandidat kita. Abaikan dulu, foto closeup yang
terpajang indah di boliho-boliho, kesampingkan dulu kata-kata manis yang
mewarnai sosialisasi diri calon. Tinggalkan dulu, bantuan sosial insidentil
yang diterima atau ikatan sosial lainnya. Mari kita luruskan ikhtiar keumatan
kita, bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk umat dan bangsa ini satu
periode kedepan. Berikhtiar, untuk memilih yang benar (terbaik).
Sungguh! Yang benar akan selalu menjadi pemenang, terserah
ia terpilih ataupun tidak. Itu semua tidak mengapa, bagi yang telah memilihnya.
Jelas dan tegas Allah telah ingatkan kepada kita:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Q.S
Ar-Ra’ad:11)
Maka sudah saatnya, kita luruskan ikhtiar kita
ditahun politik ini, jika kita benar-benar menindukan perubahan dan perbaikan
itu. Semoga. Wallahu a’lam bishowab.